Cerpen tema Alzheimer
Awalnya mengikuti event menulis yang diadakan oleh Gramedia dan Ontrack media. Memang belum lolos jadi Juara, namun mantaplah.
Pengakuan kami, Cerpen romantis pertama
Bisa juga menulis cerpen romantis. Tinggal tunggu buku antologi dari Penerbit Kalimaya .
Pelangi Dari bibirnya@antologi ibuku berbeda
"Dia tetap melantunkan doa di surga untukmu" bisikan pelan di otakku serta merta mendaratkan kesadaranku. Subuh itu aku duduk sendiri di sofa ruang tamu ditemani earphone.Kesimpulanku adalah bisikan malaikat yang memahami kerinduanku pada perempuan pertama yang kucintai teramat sangat. Kerinduan yang hanya bisa kuterjemahkan lewat berlian yang mengalir lewat korneaku. Sebulan sebelumnya aku sudah merasakan tanda-tanda beliau akan berpulang,orang menyebutnya firasat.Dan aku memanggil hal tersebut sebagai kesedihan tak terhiburkan
Ibuku adalah perempuan sederhana yang menghabiskan waktunya merawat kami dan beribadah.Beliau bukan perempuan yang suka menyebar gosip ataupun bermalas-malasan.Saat lonceng memberitahu sudah subuh, ibu selalu berjalan kaki menuju Gereja untuk doa pagi. Rapalan doa dan pujian syukurnya selalu menghiasi hari demi hari kami,bahkan saat kami telah dewasa.
Ibuku adalah perempuan sederhana yang menghabiskan waktunya merawat kami dan beribadah.Beliau bukan perempuan yang suka menyebar gosip ataupun bermalas-malasan.Saat lonceng memberitahu sudah subuh, ibu selalu berjalan kaki menuju Gereja untuk doa pagi. Rapalan doa dan pujian syukurnya selalu menghiasi hari demi hari kami,bahkan saat kami telah dewasa.
Beranikah Kita? |
alkitabsuara.com
|
"Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."
Matius 28:19-20
"Kok berani?" Pertanyaan itu terpikir saat mendengar seorang pengamen menyanyikan lagu ALLAH PEDULI di depan sebuah toko di kawasan Malioboro. Lagu yang pastinya menonjol sendiri di antara lagu pop atau dangdut yang dinyanyikan pengamen lainnya. Dia wanita berkulit sawo matang dengan banyak uban, tangannya dilengkapi plastik bening untuk menaruh uang. Tak merdu memang tapi berhasil mendaraskan keharuanku mendengarnya. Membutuhkan suatu keberanian untuk menyanyikan lagu pujian ditengah keramaian dengan keanekaragaman iman dan kepercayaan. Bagaimana jika ada orang-orang yang tak seiman merasa tidak nyaman dengan nyanyian pengamen tersebut?
Saya hanya bertemu dengannya sekali, dan tiap kali ke Malioboro pasti saya mengharapkan kehadiran suaranya, namun nihil. Di lain waktu ada seorang teman di Jakarta juga mengabarkan dia melihat seorang anak kecil yang mengamen di stasiun. Anak perempuan itu menyanyikan lagu serupa, saat ditanya apa imannnya, ternyata tidak sama dengan kita. Sungguh menakjubkan karena lagu pujian bisa tertanam dibenaknya, terlepas dari ketidaktahuan atau motivasi dibelakangnya
Boleh saya sebut mereka malaikat tak bersayap? Karena saat mendengar nyanyian mereka. saya seperti "ditampar" dengan keengganan saya memberitakan injil dengan banyak alasan. Dan sejak itu saya menyadari Amanat Agung bisa dilakukan tanpa kesempurnaan. Kita tak perlu menjadi seperti hamba-hamba Tuhan terkenal dan berada di mimbar. Amanat Agung tak hanya dilakukan dari mimbar, tapi lewat keseharian yang terlihat sepele namun membekas dengan keberanian yang sama. Tentu saja kita tak perlu mengumbarnya di jalan seperti pengamen tadi. Namun lakukan sesuai profesi dan hobi yang dianugrahkan pada kita, bahkan senyuman tulus pada orang lain merupakan salah satu bentuk mempraktekkan Amanat Agung. Bagaimana dengan kita? Apakah masih mempunyai 1001 alasan untuk tidak mempraktekkan Amanat Agung dan berlindung pada kenyataan bahwa kita telah memberikan persembahan dan mengembalikan perpuluhan di gereja?
Jika kita ingin memulai perubahan hari ini, marilah memulainya sekuat tenaga, maka Tuhan-lah yang akan menyempurnakannya. Roh Kudus akan menunjukkan langkah-langkah yang bisa kita lakukan. Perjalanan 1 kilometer dimulai dari selangkah. Jadi beranikah kita?
“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”
Matius 5:13
Matius 28:19-20
"Kok berani?" Pertanyaan itu terpikir saat mendengar seorang pengamen menyanyikan lagu ALLAH PEDULI di depan sebuah toko di kawasan Malioboro. Lagu yang pastinya menonjol sendiri di antara lagu pop atau dangdut yang dinyanyikan pengamen lainnya. Dia wanita berkulit sawo matang dengan banyak uban, tangannya dilengkapi plastik bening untuk menaruh uang. Tak merdu memang tapi berhasil mendaraskan keharuanku mendengarnya. Membutuhkan suatu keberanian untuk menyanyikan lagu pujian ditengah keramaian dengan keanekaragaman iman dan kepercayaan. Bagaimana jika ada orang-orang yang tak seiman merasa tidak nyaman dengan nyanyian pengamen tersebut?
Saya hanya bertemu dengannya sekali, dan tiap kali ke Malioboro pasti saya mengharapkan kehadiran suaranya, namun nihil. Di lain waktu ada seorang teman di Jakarta juga mengabarkan dia melihat seorang anak kecil yang mengamen di stasiun. Anak perempuan itu menyanyikan lagu serupa, saat ditanya apa imannnya, ternyata tidak sama dengan kita. Sungguh menakjubkan karena lagu pujian bisa tertanam dibenaknya, terlepas dari ketidaktahuan atau motivasi dibelakangnya
Boleh saya sebut mereka malaikat tak bersayap? Karena saat mendengar nyanyian mereka. saya seperti "ditampar" dengan keengganan saya memberitakan injil dengan banyak alasan. Dan sejak itu saya menyadari Amanat Agung bisa dilakukan tanpa kesempurnaan. Kita tak perlu menjadi seperti hamba-hamba Tuhan terkenal dan berada di mimbar. Amanat Agung tak hanya dilakukan dari mimbar, tapi lewat keseharian yang terlihat sepele namun membekas dengan keberanian yang sama. Tentu saja kita tak perlu mengumbarnya di jalan seperti pengamen tadi. Namun lakukan sesuai profesi dan hobi yang dianugrahkan pada kita, bahkan senyuman tulus pada orang lain merupakan salah satu bentuk mempraktekkan Amanat Agung. Bagaimana dengan kita? Apakah masih mempunyai 1001 alasan untuk tidak mempraktekkan Amanat Agung dan berlindung pada kenyataan bahwa kita telah memberikan persembahan dan mengembalikan perpuluhan di gereja?
Jika kita ingin memulai perubahan hari ini, marilah memulainya sekuat tenaga, maka Tuhan-lah yang akan menyempurnakannya. Roh Kudus akan menunjukkan langkah-langkah yang bisa kita lakukan. Perjalanan 1 kilometer dimulai dari selangkah. Jadi beranikah kita?
“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”
Matius 5:13
NYonya Rumah Abu
|
Kompas Minggu 17 maret 2013
|
”Lagipula siapa yang akan memperkosa dan membunuh lelaki yang sudah renta ini?” Dan anak bungsu yang kena pulung ini hanya bisa menghela nafas mendengarnya.Tak ada gunanya membangkitkan argumen dengan Papa, ikatan batin dengan rumah abu sudah terlalu mendarah dagingnya. Sebenarnya tak mengherankan Papa sangat berkeras memintaku menggantikannya.
Dari lima bersaudara, hanya tinggal aku yang ada di Indonesia. Sejak kerusuhan Mei yang dialami sepupu, membuat Cece Olivia dan suaminya mengungsikan keluarga kecil mereka ke Singapura. Papa bersikukuh tak turut serta karena rasa tanggungjawab kepada ribuan abu yang tersimpan rapi. Sebuah loyalitas yang aneh.
”Kamu ingat saat masih usia 30, Papa pernah mencari rumah baru dan mempekerjakan pegawai menggantikan Papa namun hasilnya nihil. Tak pernah ada rumah yang cocok, dan lima karyawan baru sering jatuh sakit, sejak itu Papa berhenti mencari.” Cerita usang itu meluncur lagi di sela-sela gigi ompong Papa.
Mendengar cerita dan kenyataan di depanku, membuatku berpikir apakah itu memang tandanya aku harus menggantikan Papa. Sungguh pekerjaan yang akan dipertimbangkan ratusan kali oleh setiap orang.
”Kamu itu ditahan arwah-arwah itu supaya tetap keluarga kalian yang mengurus mereka!” pernyataan polos Yeyen yang sekarang mantan kekasihku, saat aku memberitahu kegagalan wawancara pekerjaan kesekian kali terngiang terus menerus. Berkat atau kutuk? Entahlah!
”Cece Wenny hidup lagi Papah!” teriakan ketakutan membuyarkan lamunanku. Lengan lelaki setengah abad di sampingku terlihat memerah dicengkeram seorang anak kecil yang gemetaran menunjuk peti kayu kuning emas di dalam tungku. Memang tidak tepat kalau anak seusianya sudah menjadi saksi perubahan tubuh kakaknya menjadi abu. Tapi apa daya, orang tuanya bersikeras.
Melihat lelaki yang dipanggil Papa tak bereaksi, anak berkacamata tipis dengan mata segaris itu mulai menangis. Kakiku serta merta hendak beranjak menghampirinya, namun terlambat. Suara lembut ramah bagaikan Dewi Kwan Im mengalun di telingaku, sebuah pelukan terlihat hangat menyentuh anak kecil itu. Terasa sedikit kecemburuan mengalir dalam hatiku. Bukan, bukan cemburu birahi namun iri tepatnya.
Wanita bergincu dan beroles bedak tipis itu memang luar biasa. Entah tangisan keberapa puluh kali sudah dia redakan dengan sejumput elusan dan kalimat menenangkan. Tentu saja tangis kekesalanku juga berhasil ditaklukannya, dengan bisikan merayu ataupun desahan memabukkan serta menyita waktuku di peraduan. Hangat dadanya selalu bisa melelapkan serta membuka pagiku dengan senyum.
Kesedihan pemilik rambut hitam bagai bintang iklan shampoo itu baru tersibak saat aku menengoknya saat tungkai jenjangnya tak terlihat berjinjit menyentuh foto penghuni guci merah tak mewah dua minggu ini. Dia begitu terkejut hingga mata segarisnya menjadi membulat seperti ikan koki, namun bagiku dia tetap cantik walaupun terbaring dengan infus menempel manis di lengannya. Memang dia tak lagi muda bahkan melebihi usia kepala tigaku, namun aku menemukan keremajaan di hati polosnya. Trauma masih saja melekat di ingatannya, sejak saat itu hanya mau berbicara dengan bahasa Mandarin saja, dan jarang keluar kecuali ke rumah abu. Dia juga akan tetap melajang sejak Fredrik menjadi abu, kalau saja kami tidak pernah bertemu.
Namanya Cecilia Bong, calon istri dari penghuni guci yang selalu disembayanginya seminggu sekali. Di depan mata minusnya, lelaki pasangan jiwanya dipukuli seperti anjing saat Glodok bergejolak tepat dua hari sebelum hari pernikahan mereka. Dengan rok tersingkap dan kaos sobek dia berhasil melarikan diri, dan disembunyikan oleh seorang Haji.
Dengan lincah aku membuka tungku dan mulai mengumpulkan abu Wenny Sugiarto. Bau daging terbakar tak menyengat lagi di hidungku. Bau yang nyaris membuatku muntah pada bulan pertama. Aku sampai berpuasa karena tak tahan tiap kali mengingatnya. Belasan sabun batangan sia-sia kugunakan, tubuhku tak beranjak harum oleh mereka.
”Riasan makeup Wenny tadi sempurna.”
”Tentu saja, lagipula Wenny sangat pendiam dan tak rewel walaupun aku salah menggambar alis.”
Lenganku merengkuh bahu dan mencium cepat keningnya, dia sudah banyak berubah. Sejak pertama kali tangan kami saling bertaut dan menghabiskan senja di rumah sakit dengan tawa dua tahun yang lalu, maka hari demi hari berlalu dengan kisah cinta yang menyesakkan dada. Bagaimana tidak, aku harus menemaninya melewati berbagai terapi untuk mengembalikan kepercayaannya kepada dunia yang dianggapnya selalu kejam, memegang tangan pucatnya saat memberanikan diri berbelanja di pasar tradisional yang penuh dengan logat Jawa dan Betawi. Tak jarang linangan berlian melewati dua matanya. ”Aku hanya ingin segera menikah denganmu Kavin.”
Dan sepertinya penghuni krematorium juga menyambut Cecilia dengan sukacita. Tak ada guci abu kosong yang jatuh sendiri ataupun hembusan angin panas saat Cecilia resmi menjadi nyonya rumah abu kami.
http://www.jawaban.com/news/creative
Ku dengar pemulung bergumam
Malam itu ku dengar pengemis bergumam
begini terimakasih ku boleh nafas udaramu ku lahir ditanah mu diijinkan tumbuh dibumi pertiwi ini dibiarkan tahu perbedaan sadari kebohongan katakan kebenaran terimakasih ku tak bisa dibanggakanmu tapi ku selalu bangga padamu walau ku hanya ditepimu tapi ku tak pernah menepikanmu tiap pagi ku selalu terima harapan baru harapan tuk hidup yang lebih baik walau memungut sampah namun aku tak jadi sampah yang keruk hartamu dengan kerah putih pada anak-anakku kuajarkan tuk bangga jadi rakyatmu tak hanya hormati bendera tak hanya hafal pancasila tak hanya nyanyi Indonesia Pusaka namun cintai bangsanya dengan cara kami sendiri apapun peran kami tak perlu berdasi namun yang terbaik kami beri terima kasih Indonesia malam itu aku mendengar pemulung bergumam dan aku juga mulai bergumam terimakasih Indonesia |
Juara harapan tiga Lomba penulisan puisi hari chairil anwar 1999
Aku ini hanya ikan kecil
Aku ini hanya ikan kecil
Berenang ikuti arus
Entah tenang deras tak kutahu
Melawan alam tak kuasaku
Ku hanya ikuti
namun ku tak diam di kederasan
kuatku berenang melawan
walaupun ku tak dapat
melawan alam tak kuasaku
Kadang ke samudra aku ikut
lelah…lapar
ku ketepi tuk berpikir
apa hidup hanya melawan arus
kadang kita harus menepi tuk berpikir,tapi…
toh aku hanya ikan kecil
Yogyakarta,1999
Berenang ikuti arus
Entah tenang deras tak kutahu
Melawan alam tak kuasaku
Ku hanya ikuti
namun ku tak diam di kederasan
kuatku berenang melawan
walaupun ku tak dapat
melawan alam tak kuasaku
Kadang ke samudra aku ikut
lelah…lapar
ku ketepi tuk berpikir
apa hidup hanya melawan arus
kadang kita harus menepi tuk berpikir,tapi…
toh aku hanya ikan kecil
Yogyakarta,1999
http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/098/
Anak-Ku,
kau tak perlu jadi mozart tuk menggubah lagu penyembahan
kau tak perlu bisa bahasa roh tuk bicara denganKu
kau tak perlu jadi song leader tuk memujiKu
kau tak perlu jadi penyembuh tuk rasa berguna didepanKu
kau tak perlu jadi pendeta tuk memberitakan Injil
kau tak perlu jadi rasul tuk tetep setia iman
kau tak perlu orang kudus agar namamu terpatri di ingatan umat
namun menulislah lewat penamu
bernyanyilah dengan hatimu
kabarkan Injil dengan huruf-huruf
setialah dengan ucapanmu
jadilah kudus dalam keseharianmu
dan tak jemu walau tak terhitung terlihat
niscaya Aku akan memenuhi hari-harimu
karena jiwamu tersimpan lebih berharga
daripada ribuan pujian doa persembahan terlihat
seperti pohon yang memerlukan akar
seperti hujan memerlukan angin
seperti gembala memerlukan padang
berilah apa yang kau punya
tiap anak Ku terbekal masing-masing
talenta untuk seiring dengan Ku
jadi tetaplah menggores pena tentang janjiKu
seperti Aku juga menuliskan namamu di kitab hidup
Pemenang hadiah hiburan j-creative
Pembohong mereka bila
Pembohong mereka bila
katakan kau hancur
katakan kau retak
katakan kau terbelah
katakan kau sudah tak indah seperti dulu
memang bom berdesing
memang puluhan pemimpin berdusta
memang ratusan rumah ibadah terasap
memang ribuan bencana menyemut
memang jutaan uang menguap tak terlihat
memang tak terhitung nafas hilang
namun kau, aku dan mereka tahu
bahwa selama Yesus tetap mengijinkan
maka asa tuk kita selalu ada
untuk kehidupan baru
dimana perbedaan tak jadi alasan
dimana bahasa tak memisahkan
dimana penjara tak sesak
dimana tak ada hujatan keyakinan
dimana pengemis bisa tersenyum
dimana hidup seseorang diakui berharga…
…apapun pilihan mereka
dimana simbol iman bukan hanya simbol
dimana kasih menjadi nafas ku dan mereka
dimana kami saling tak mencela
dimana aku dan mereka berjabat tangan
dan semua akan lebih baik
dan aku, mereka akan bangga pada dunia
menyebut kami…rakyatmu
karena kau bernama… Indonesia
katakan kau hancur
katakan kau retak
katakan kau terbelah
katakan kau sudah tak indah seperti dulu
memang bom berdesing
memang puluhan pemimpin berdusta
memang ratusan rumah ibadah terasap
memang ribuan bencana menyemut
memang jutaan uang menguap tak terlihat
memang tak terhitung nafas hilang
namun kau, aku dan mereka tahu
bahwa selama Yesus tetap mengijinkan
maka asa tuk kita selalu ada
untuk kehidupan baru
dimana perbedaan tak jadi alasan
dimana bahasa tak memisahkan
dimana penjara tak sesak
dimana tak ada hujatan keyakinan
dimana pengemis bisa tersenyum
dimana hidup seseorang diakui berharga…
…apapun pilihan mereka
dimana simbol iman bukan hanya simbol
dimana kasih menjadi nafas ku dan mereka
dimana kami saling tak mencela
dimana aku dan mereka berjabat tangan
dan semua akan lebih baik
dan aku, mereka akan bangga pada dunia
menyebut kami…rakyatmu
karena kau bernama… Indonesia
LAHAN,
Antalogi puisi remaja 1999
Kesukaan adalah topeng kepedihan
Kesukaan adalah topeng kepedihan
yang kau padamkan suluh kemuakan diri
Tapi dari dalam yang sama kau torehkan seiris sendu
Kau siramkan air kenaifan diri bagai
anggur buatmu mabuk kebodohan semata
Oleh air itu juga kau lambungkan diri
agar dupa kehidupan mengalun terus
mengapa
mengapa
Bukankah kesukaan adalah ombak yang
bergulung-gulung selubungi pantai
Bukankah kepedihan adalah awan yang
berarak-arak ke nirwana
Bukankah padang perlu ilalang agar bisa
menyenandungkan seruling Sang Gembala
Bukankah
Bukankah
Terimalah bila sayapnya rengkuhmu
datanglah bila suaranya dekapmu
seperti siang merindukan malam
semua berputar selaras
yang kau padamkan suluh kemuakan diri
Tapi dari dalam yang sama kau torehkan seiris sendu
Kau siramkan air kenaifan diri bagai
anggur buatmu mabuk kebodohan semata
Oleh air itu juga kau lambungkan diri
agar dupa kehidupan mengalun terus
mengapa
mengapa
Bukankah kesukaan adalah ombak yang
bergulung-gulung selubungi pantai
Bukankah kepedihan adalah awan yang
berarak-arak ke nirwana
Bukankah padang perlu ilalang agar bisa
menyenandungkan seruling Sang Gembala
Bukankah
Bukankah
Terimalah bila sayapnya rengkuhmu
datanglah bila suaranya dekapmu
seperti siang merindukan malam
semua berputar selaras